Best View : FireFox v.3 - 1280 x 800
Soliloquist's Blog : All Conversations are One-Way.

My Favourite Posts, Pick One :


Wednesday, January 16, 2008

The One with the Other Language

One day.
We are sitting on a beach.
Listening to the swirling sound of peaceful waves, the chirping birds and the mildly blown wind. Mmmm, what a wonderful feeling. I guess in time like that we are capable of absorbing every single bit of heavy thoughts of our lives without feeling miserable, depressed, scared, sad, or … just heavy. I guess in time like this—— — ---

[For the very first time, this blog will present an entry in Indonesian language, just one entry. Why? because a little while ago, I think that this blog is becoming less creative with her each entry. It’s always ended with the phrase : “In the end, …” or “At some point, …” or other Grey’s Anatomy-ish same-styled introduction and epilogue. Perhaps it’s time to change it a little bit, even in just one entry.]


Suatu kala.
Kita sedang duduk di tepi pantai.
Mendengarkan riuh ombak yang bernadakan ke
damaian, kicau-kicau burung dan belaian angin yang malu-malu. Mmmm, sungguh perasaan yang menyenangkan. Kurasa di saat seperti itulah kita bisa menyerap setiap butir pikiran akan hidup kita tanpa merasa sengsara, tertekan, takut, pilu, atau ... terbebani. Kurasa disaat seperti inilah aku bisa menulis sebuah entri yang lain dari pada yang lain, dengan sepenuh dan sesempurna berlian dalam memantulkan cahaya.


Kadang-kadang, ketika aku merasa penuh dengan pikiran dan masalah, aku mencoba untuk menutup mata, lalu membayangkan diriku berada di puncak sebuah bukit yang luas, hijau dengan rumput setinggi mata kakiku. Kubayangkan diriku berbaring disana, wajah menghadap langit, pikiran melayang menembus ke surga. Disana aku menemukan kedamaian. Disana aku menemukan cinta.

Lalu beberapa menit kemudian, aku terbangun dan kembali ke dunia nyata, tempat aku harus bangun tiap hari disaat aku masih ingin tidur, tempat dimana aku harus melakukan pekerjaan tak-bermasa-depan yang melelahkan dan membosankan hanya karena bayarannya cukup memuaskan, tempat dimana hampir semua manusianya terikat dalam dunia sosial kaku indonesia yang kuno dan berpikiran sempit, tempat dimana hampir semua gadis keturunan malaikat cinta sudah entah kawin atau menjadi lesbian.

Oh, tolonglah. Menit-menit di puncak bukit itu begitu memuaskan. Aku tidak ingin bangun.

Kelopak mataku terbuka.

Bayangan kehidupan ku beberapa hari lalu melesat mengunjungi retinaku. Oh aku ingat. Hari Jumat lalu adalah hari terakhir aku mengajar siswa 19.00 ku. Sungguh hari yang sudah aku tunggu-tunggu. Hari dimana aku terbebas dari belenggu kebosanan yang kurakit berbulan-bulan lalu. Aku tak bisa tahan lagi dengan jam ngajar yang mengerikan itu. Aku merasa tidak bisa bernafas jika aku terus-terus melakukannya. Aku merasa hidupku jadi terbuang sia-sia karena pekerjaan itu. Aku seharusnya bisa punya waktu untuk melakukan aktifitas lain. Aku seharusnya tidak se-merana ini. Itulah sebabnya aku berhenti.



Pekerjaanku memang sudah menjadi salah satu masalah utama hidupku. Alasan mengapa aku selalu menjadi orang yang kelam dan suram. Dark and twisty, seperti kata Meredith Grey dari Grey’s Anatomy. Aku ingin mengejar mimpiku. Hanya saja pada saat ini, mimpi dari kehidupanku masih terlalu kabur dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengejarnya.

Bicara tentang mimpi, aku punya beberapa mimpi yang begitu membekas. Hm... sejujurnya, selama dua hari belakangan ini, aku terus-menerus memimpikan cewek-cewek yang aku suka di masa lalu. Bukannya dalam bentuk mimpi yang indah, melainkan mimpi yang menakutkan.

Mimpi-mimpi itu seperti menampakkan apa yang akan (atau telah) terjadi pada mereka yang dulu aku suka. Mimpi-mimpi itu menunjukkan padaku apa yang akan aku rasakan ketika hal-hal yang terjadi dalam mimpi itu benar-benar terjadi padaku. Aku benar-benar tidak bisa menerimanya.

Aku merasa benar-benar tidak mampu. Apa yang harus aku lakukan?

Mimpi-mimpi itu.... pertama, aku melihat Anni yang telah berada jauh di sana. Ia benar-benar punya hidup yang baru. Aku seperti berada di dalam dunianya, berdiri di sampingnya sepanjang waktu, mengawasinya, menontonnya. Tapi dia tidak bisa melihatku. Aku bukan lah siapa-siapa.

Aku melihat dia melakukan apa yang dia lakukan. Aku meihat semuanya. Aku melihat dunia miliknya yang seharusnya sekarang juga milikku. Aku melihat keterlambatanku akan hidup yang lebih baik, “keterlambatan”! Kata apaan itu? Lebih tepat diganti kata “mimpiku”. keterlambatan membuatnya seperti “dapat kujalani, hanya saja aku terlambat”.

Oh, please. mengapa aku cenderung melukai diriku dengan semua kepesimisan ini? Tidakkah ada sebuah sinar terang keoptimisan dan harapan nyata akan masa depanku?

Mimpiku yang kedua adalah tentang Cy. Dia sudah dewasa. Aku juga menuntunnya selayak aku menuntun Anni di mimpiku yang sebelumnya.

Ini sama menyakitkannya.

Aku bertanya-tanya, bahkan sampai sekarang, mengapa aku kerap mengalami mimpi-mimpi seperti itu? Mengapa aku tidak bisa mencicipi bagaimana rasanya hidup seperti mereka di dunia nyata? Anni, Cy, Anita, Jacqueline, Erick, Riki Lidian, Harvey, Ervina, atau bahkan mungkin Iswandi?

Pada beberapa waktu, aku mengunjungi friendster dan melihat apa yang terjadi pada dunia. Ia tersenyum balik padaku, lalu ia menertawakan aku dan kumpulan foto-fotoku. Mereka semua, yang ada di dunia sana, terasa sekali seperti bagian “luar” dari duniaku. Apa yang terjadi dengan diriku dan bagaimana aku bisa terlempar keluar dari sana?

Lalu aku dipaksa untuk melihat profilku. Suram dan hitam, dengan shoutboxI am alone”. Mereka tertawa. Belasan foto yang tak berarti, semuanya menyuarakan apa yang kuteriakkan di shoutbox. Mereka tertawa. Ratusan kata di seksi About Me yang kesemuanya menggambarkan kesepian di hati. Mereka semua tertawa, lalu mereka berpaling dan pergi meneruskan hidup mereka. Mereka berfoto di pantai, bersama dua belas teman lain yang saling meng-hi-five-kan telapak kaki mereka, mengubur satu sama lain dalam pasir pantai yang diam membisu. Atau mereka pergi ke Mikie Holiday, sebuah tempat yang tidak aku kunjungi dalam seratus tahun belakangan. Mereka menunggangi roda dengan calon pacar. Mereka berfoto di KLCC bersama rekan kerja. Mereka berkemah di bawah air terjun. Mereka tertawa, tersenyum, dan mereka hidup. Mereka bahagia.



Apakah kita?



Mengapa kita bermimpi?



Mengapa kita hidup?



Mengapa kita bertanya-tanya?



Peter Petrelli melompat dari atap gedung bertingkat karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Apakah aku harus melakukan hal yang sama?


Aku rasa tidak.

Kamu juga kan?



***


[Dua belas jam kemudian]

Waktu tampaknya memang cepat berlalu. Suatu saat kamu merencanakan apa yang akan kamu lakukan pada hari terakhir tahun 2007, dalam sekedip mata saja, kamu sudah merencanakan resolusi tahun baru mu, bahwa kamu tidak seharusnya banyak berkomplain lagi tentang hidupmu dan kemeranaanmu, kamu berjanji kalau kamu harus membeli Will and Grace, berjanji kalau kamu harus membeli laptop baru pada tahun ini, tahun baru. tahun 2008. Sekedip mata kemudian, semuanya sudah terjadi. Beberapa berhasil, beberapa gagal.

Tapi ternyata waktu berjalan sungguh lambat. Tidak percaya? coba saja kamu mengamati sebuah jam dinding dan mengikuti gerak jarum detik. Pikirlah. Haraplah agar hari ini cepat selesai, karena hari ini bukan hari yang bagus buatmu.

Nah, sudah merasa seperti Hiro Nakamura belum?

Ngomong-ngomong soal Will and Grace, rasanya aku sudah gila. Baru saja hari Sabtu lalu aku membeli Will and Grace season 3, 4, 5, dan 8. Aku juga membeli “Saw IV”, “I now pronounce you Chuck and Larry”, “Knocked Up”, dan “The Simpson Movie”. Itu ada 28 DVD, totalnya. Dan karena harga satu DVD adalah Rp. 6.000,- maka aku sudah menghabiskan Rp. 156.000,- dalam satu hari. Aku tahu, aku tahu... hitungan itu tidak benar. Tapi untuk setiap pembelian 10 DVD, aku berhak memilih satu dengan gratis. meskipun demikian...



Yah, kelihatannya aku tidak perlu menjelaskan lebih jauh lagi. Intinya adalah aku menjadi sangat boros jika sudah sampai ke Will and Grace. Apalagi jika besoknya aku kembali lagi ke toko itu dan membeli 6 DVD Will and Grace season 2 dan memesan season 6 dan 7... Iya, aku sudah gila.

Lalu, apa lagi yang aku lakukan?

Photobucket

Oh ya, hari minggu lalu aku pergi ke Sun Plaza dan aku menghabiskan Rp.50.000 hanya untuk makan pizza yang enak sekali. Aku berjanji kalau aku akan memakan empat potong, tapi pada akhirnya aku menelan 5 potong pizza ukuran Large dan 2 potong Garlic Bread yang membuat haus. Sesudahnya, aku tidak bisa berjalan jauh lagi. Tubuhku lemas karena terlalu banyak makan. Oh, tak heran aku jadi segemuk ini.



Komik Heroes juga sudah keluar di Medan.



Hari Minggu itu juga adalah hari peluncuran Harry Potter 7 dalam bahasa Indonesia. Aku berlagak seperti ini :

Oh, buku ini? Aku sudah baca setengah tahun yang lalu! Udah basi gini kalian sekarang baru heboh-heboh...!

Iya, aku tahu. Aku tahu. I’m such an ass.

Tapi memang begitulah dunia dijalankan di Indonesia. Semuanya serba terlambat dan kuno. Semuanya serba “kalah” jika dibandingkan dengan hal lain. Lihat saja koneksi internetnya, harga laptopnya, dan mantan presidennya. Dan begitu kamu tahu yang lebih baik (namun tidak bisa mendapatkannya), kamu pasti jadi benci sama negara ini.



Tapi aku tetap menikmati peluncuran buku itu, bagaimanapun juga aku adalah penggemar berat Harry Potter dan Relikui Kematian—begitu kata si Srisanti Listiana, Ha Ha Ha.

Oh shit, aku jadi sekejam Karen “Cruella” Walker.

Tapi tenang saja. aku bukan orang yang mudah berubah sifat.
Sekali keras kepala, aku tetap keras kepala.
Sekali pemaksa, aku selamanya pemaksa.
Sekali pencemburu, aku tetap pencemburu.
Namun sekali aku jatuh cinta pada gadis idamanku, selamanya aku tetap cinta. Lihat saja contohnya.
Sekali aku jatuh cinta pada Khiau Lo dibawah ini, aku tetap cinta. (Yah, bukan analogi yang bagus....)



Dan sekali aku bilang aku sudah melupakan Cy, aku sudah melupakannya...

Aku ingat, walau rasanya seperti beberapa abad yang lalu, ketika aku menghapus dan melenyapkan semua pesan dan surat-surat yang mengingatkan aku pada dia. Banyak sekali. Aku ingat ketika aku membaca beberapa dari mereka sebelum aku melemparnya ke dalam kobaran api neraka keabadian.

Banyak sekali hal yang membuatku terharu dan sedih. Rasa sakit di dalam tampaknya membelah diri dan bertambah banyak ratusan kali lipat. Namun walau semua sisa fisik Cy sudah aku bakar, memori dirinya tetap melekat di kepalaku. Dan hanya ada satu cara efektif yang aku tahu bisa mendorongnya jauh-jauh. Cara tersebut, aku belum menemukan-nya. Yang ku tahu hanyalah kalau “ia” mengambil bentuk seorang gadis manis berambut simpel dan berbaju merah. Dimanapun ia berada.

***

Kurasa pada akhirnya, aku hanya perlu membuat diriku tentram dan damai. Maka aku kembali lagi berteduh dibawah naungan angin sepoi-sepoi dan cakrawala biru. Berbaring sepi. Kedengarannya seperti tema hidupku—kesepian, tapi tidak begitu. Kali ini akan ada melodi lembut yang mengalun menemaniku. Namanya kedamaian. Kedamaian yang aku rindukan saat lalu, saat ini, dan selalu.

Kemesraan ini...
Janganlah cepat berlalu...

Kemesraan ini...
Ingin kukenang selalu...

Hatiku damai...
Jiwaku tenang disampingmu...

Hatiku damai...
Jiwaku tentram bersamamu....


Aku selalu merindukanmu.




.

No comments:

Post a Comment